Read more: http://ajatshare.blogspot.com/2013/08/cara-memasang-meta-tag-seo-friendly-dan.html#ixzz2xXCDmkL2 za_afdal

Rabu, 06 Agustus 2014

Monbukagakusho: Impian, Kepecundangan, dan Dilema.

                 Hal yang sejatinya ingin aku bagi sekarang hanyalah sebuah ketidakmampuanku dalam menanggalkan kepecundanganku terhadap apa yang aku impikan. Seakan itu hanyalah impian yang sifatnya semu, namun pada dasarnya ituah yang paling aku inginkan saat ini. Tidak, itu yang paling aku inginkan semenjak 8 bulan yang lalu dan berakhir hampa begitu saja dalam beberapa minggu yang lalu.
                  Ini semua tentang impian, keputusan, dan kepecundangan. Aku tidak pernah sekalipun menyangka bahwa aku akan mengalami distorsi terhadap apa yang telah aku pikirkan dalam dalam sejak lama. Bagai tersangkut kawat dengan tegangan listrik yang tinggi, aku hanya bisa menggigil dan meringis terhadap apa yang telah aku putuskan terhadap masa depanku. Dan semua berawal pada hari itu…..
Entah apa yang aku pikirkan dan aku menungkan pada siang yang kelabu itu, aku tersenyum pahit mengingat betapa bodohnya diriku yang telah memutuskan untuk mundur dari pertarungan. Apa aku terlalu hiperbolis a.k.a melebih lebihkan kepecundangan yang aku alami…? Kalian bisa menilainya sesaat lagi jika masih bernafsu untuk membaca tulisan ini.
                  6 bulan lamanya selalu ku pandangi halaman web itu. Masih situs itu, tak beranjak sedikitpun. Setiap hari, setiap waktu bila itu terlintas dalam benakku, aku akan berselancar dan mengakses situs yang entah beberapa bulan yang lalu menjadi situs favoritku. Kalian tahu apa….? Silahkan ketik “Monbukagakusho” di Google dan bukalah situs pertama/ paling atas di halaman pertama yang muncul. Setelah itu coba tebak apa yang selama ini tergayut di dalam pikiran ku…
                  Ya, sebuah impian. Aku yang selama ini memimpikan untuk bersekolah di negeri matahari terbit itu, aku yang selama ini memimpikan untuk melihat langsung keindahan sakura mekar pada musim semi, aku yang selama ini memimpikan untuk melihat langsung puncak fuji yang selau diselimuti salju abadi, aku yang selama ini memimpikan berjalan di tengah kerumunan orang orang pekerja keras yang aku  berharap  agar tertular akan semangat mereka yang selalu mengatakan “Ganbarimasu!” atau “ganbatte kudasai!”, dan aku yang selama ini memimpikan untuk menimba ilmu cabang keteknikan bangunan/sipil di negri yang sering di landa gempa tersebut, adalah sama dengan aku yang beberapa minggu yang lalu memutuskan untuk menarik diri dari perjudian dan mencoba berseikap realistis terhadap diri sendiri. Sebuah ironi yang aku renungi di lautan keputus asaan.
                Aku benar benar memimpikannya pada saat itu. Sudah kujelaskan bahwa setiap hari selama 6 bulan aku selalu mengakses situs itu dan berharap pendaftaran untuk keberangkatan tahun berikutnya telah dibuka. Setiap hari yang dapat aku lakukan hanya tersenyum pahit, namun malah seperti diberi sebuah boost setiap kali membukanya seakan semangat ku untuk kesana semakin menggebu.
               5 Mei 2014, hari yang selama 6 bulan aku tunggu akhirnya datang. Ya, pendaftaran telah dibuka dan tanpa basa basi, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri jalur Online terlebih dahulu.aku mengalami kesulitan karena tidak bisa mengakses Link untuk program D3, dan tanpa sengaja aku terdaftar di program S1 dan itu langsung terkonfirmasi ke alamat emailku. Aku segera mengirim email balasan untuk menanyakan apakah aku bisa menggantinya di program D3. Dan aku mendapat balasan, “Silahkan” aku sangat bergembira membacanya.
              Alasan aku ingin mendaftarkan diri pada program D3 adalah karena saingannya tidak sebanyak S1. Dan aku juga berpikir bahwa orang-orang dengan kemampuan otak diatas rata-rata juga akan saling sikut dalam pendaftaran program S1. Bukannya tidak pede akan kemampuanku, aku memilih mencari jalan aman. Aku mengkalkulasikan peluang ku untuk dipanggil ikut tes tertulis. Dan peluangku lebih besar pada D3. Begitulah. Kemudian bersama satu orang teman aku mengirim formulir pendaftara sebanyak 7 lembar dalam B.inggris ke kantor kedubes jepang di Indonesia bagian pendidikan. Aku begitu lega saat itu. Dan berdebar debar setelahnya mengingat aku telah membuat langkah pertama. Aku berdoa semoga aku dipilih untuk mengikuti tes tertulis pada 2 bulan berikutnya, karena tidak semua pelamar yang mengirim berkas akan dipanggil untuk mengikuti tes tertulis.
             1 bulan berlalu setelah itu. Dan dalam periode 1 bulan itu saya hanya bermalas-malasan sambil menatap layar Hp ku. Aku  telah memasuki masa libur dalam perkuliahan pada saat itu dan aku menemukan web yang sangat menarik. Fanfiction.net.  berjam jam bahkan berhari hari ku pandangi dan ku baca satu persatu cerita yang nangkring disitu dan itu sangat memuaskan untuk dibaca. Imajinasiku benar benar melayang jauh dibuatnya.
           Aku tidak sempat mempersiapkan diri untuk tes tertulis. Walaupun aku telah mengkalkulasikan peluangku untuk dipanggil mengikuti tes, namun aku masih bermalas malasan dalam periode liburan. Aku juga menunggu hasil penjurusan dari kampusku dan itu benar benar membuatku berdebar debar. Beberapa hari setelahnya aku sungguh sangat senang melihat hasil pengumuman nahwa aku terjuruskan pada prodi Teknik Sipil di kampus yang ada di jalan Ganesha no 10 bandung itu, sesuai cita-citaku. Beberapa hari kemudianaku pulang kekampung halamanku di Padang Panjang(Sumatera Barat) karena momen mendekati Ramadahan tentunya dengan membawa kabar gembira untu orang tua tercinta.
               Hampir satu bulan aku dirumah. Dan yang aku pandangi di layar Hp ku setelahnya adalah hasil pengumuman bagi pelamar yang akan dipanggil untuk mengikuti ujian tulis setelahnya. Aku langsung mengecek untuk program D3. Dan sesaat setelahnya aku dibuat kecewa karena tidak menemukan namaku tertulis disana. Iseng iseng, coba ku lihat untuk program S1 untuk melihat hasil temanku. Dan aku hanya membulatkan mata lebar lebar setelahnya setelah mengetahui bahwa namaku terdaftar untuk program S1, tidak seperti yang aku harapkan.
              Ini benar benar sulit bung. Maksudku, ya aku sungguh sangat sulit untuk membuat keputusan setelahnya. Pertimbangannya adalah, jika aku mengikuti tes tulis untuk S1 maka aku akan menghadapi 4 ujian mata pelajaran. Sedangkan pada D3 hanya 2 mata pelajaran. Dan aku malah terdaftar di S1 seperti yg tidak aku harapkan, ditambah lagi aku tidak mempersiapkan apa-apa, dan itu semua benar-benar membuatku membenturkan kepala ke dinding tanda frustasi tingkat dewa.
                       Aku harus membuat keputusan sulit setelahnya. Mencoba mempertimbangkan masak masak untuk menghadapi tes tersebut yang akan diadakan di Medan yang dari kampung halamanku sekitar 20 jam dengan Bus. Aku mengingat kembali masa-masa begitu mendamba kesempatan ini selama 6 bulan. Aku mengingat kembali semangatku yang berkobar setelah mendengar kata “Monbukagakusho”, Aku mengingat kembali tentang keinginanku untuk berkuliah di jepang. Namun, sesaat setelahnya semuanya sirna dipatahkan oleh kata kata yang tergayut di benakku yang berbunyi “Kau benar benar tanpa persiapan, Niatmu juga sudah mulai memudar, tidak ada gunanya kau ikut tes, semua akan sia sia dan hanya akan menghabiskan biaya”
                         Kalimat itu yang membawaku ke jurang kefrustasian setelahnya. Aku benar benar tenggelam di dasar yang paling dalam. Mencoba bangkit dari rasa bersalah atas diriku sendiri, karena akulah yang paling bertanggung jawab atas diriku sendiri.Aku telah mengikhlaskan semuanya beberapa hari kemudian. Benar benar ikhlas, mencoba menghibur diri bahwa biarpun tidak sekarang aku berangkat ke jepang, setidaknya aku akan memburu beasiswa S2 ke sana. Bahkan jika harus memakai uang sendiri, aku akan tetap berusaha untuk mengeyam pendidikan tinggi disana. Setidaknya untuk gelar Magister, bahkan Doctor ataupun Profesor sekalipun.

Ya, InsyaAllah….

              Sesaat kemudian aku menjadi seorang author dengan karya pas-pasan yang mencoba menghibur diri di dunia Fanfiction. Baru 2 bulan aku kenal dunia ini, 1 bulan membaca berbagai karya dan meneliti berbagai aspeknya, bulan selanjutnya aku mencoba membuat karya sendiri. Dan berbagai respon para pembaca benar benar membuatku senang. Setidaknya hari liburku tidak terbuang sia-sia. Hei, aku telah mengasah kemampuan menulisku yang pas-pasan dan menunjukkan karyaku untuk dikomentari oleh orang orang. Yang penting aku mendapati Hobiku yang sekarang dan akan terus menekuninya,

MENULIS!  
  


Senin, 31 Maret 2014

17,5 : Sebuah Distorsi Kehidupan

Tap.. tap.. tap.. suara langkahku yang menghentak menuruni tangga kayu setinggi 4 meter, berpacu seakan tak mau kalah dengan detak jam dinding yang berbunyi tik.. tik.. tik… Ku lihat kembali jam tanganku apakah sudah ku majukan jarum nya 10 menit lebih awal dari jam dinding. Jarum yang saling meghimpit antara si panjang dan si buncit diantara angka 6 dan 7 pada benda bulat yang selalu tergayut sebagai penghias dinding itu, seakan memberi tahu, sekarang aku harus pergi. Ya, matahari kulihat cahayanya di sela sela pagar tinggi yang juga berfungsi sebagai pintu utama kos-kosan yang aku tempati. Pagar ku kunci, dan aku pun segera berlari. Langkah harus dipercepat atau aku akan ketinggalan sesuatu yang selalu dipenuhi oleh orang-orang muda pencari ilmu di perantauan alias mahasiswa seperti aku. 
Ku lihat benda berwarna ungu yang selalu ngetem di ujung gang ditepi jalan kecil beraspal. Selalu ku baca tulisan yang ada di kaca depannya yang berbunyi “cisitu-tegallega’’. Kadang kadang deselingi dengan tulisan ‘’pasar baru”, “cihampelas” atau apalah. Yang jelas pada bagian belakangnya tidak ada tulisan “ku tunggu jandamu”, atau mungkin gambar pak Harto yang berkata “pie kabar e? enakkan jaman aku toh..” . Jelas saja, ini bukan truk gandeng, tapi sebuah angkot yang sudah seperti “mobil pribadi” bagi ku. Mobil pribadi yang supirnya selalu berbeda. Ya, sebut saja sebuah angkot yang akan menghantar ku ke jalan sumur Bandung. Setelah itu aku hanya harus berjalan sekitar 300 meter agar sampai di kampus yang selalu aku dambakan sejak dahulu. Atau jika aku bangun lebih pagi dari biasanya, aku bisa berjalan dari kos ke kampus yang jaraknya kurang lebih satu setengah kilometer. Jika sudah begitu, tak ada hal lain yang terjadi sesaat setelah duduk di kelas selain ku jumpai sandaran ku telah basah oleh keringat punggung. Benar sekali, ini kampus impian setiap anak Indonesia yang ingin menguasai berbagai cabang ilmu teknologi terutama keteknikan. Kampusnya putra sang fajar, sang proklamator Indonesia Ir. Soekarno menamatkan program studi teknik sipilnya.
Tas sandang pemberian ibu aku letakkan disebelah kursi, sedikit ku arahkan kebawah tempat duduk, atau tidak, aku hanya akan mendapati tas berharga tersebut diinjak-injak oleh teman teman yang lalu lalang. Perlahan ku buka resleting tasku, dan aku keluarkan benda yang tak asing lagi. Sebuah buku tulis hitam dengan logo kampus gajah duduk pada sampulnya. Tak lama setelah itu dosen pun datang. Telah siap dengan materi materi yang akan ia sampaikan dan mulai memasangkan kabel proyektor pada port USB laptop yang ia bawa. Slide demi slide keluar seirama dengan kata kata yang keluar dari mulut seorang pemberi 5 alfabet pada rapor mahasiswa. Akupun ingat seseorang pernah berkata, “ jika engkau tidak mendapat nilai A, masih ada 25 huruf lainnya yang bisa kau dapat pada alphabet”. Benarkah demikian. Apakah itu yang aku inginkan?
Hambar… ya, semua terasa hambar. Aku tidak merasakan sesuatu yang istimewa pada hidupku. Begitu pula materi yang sedang aku dengarkan sekarang. Sama sekali tidak menarik. Lamunanku terbang jauh berjalan tak senada dengan pulpen yang ku mainkan di tangan kiriku. Pandangan ku memang mengarah ke papan tulis, namun yang kulihat sejatinya tidak ada disana. Sesaat kemudian muncul pertanyaan dalam otak yang hanya ku pakai bila musim UTS tiba, dengan klise otak ku menerawang jauh ‘apakah ini jalan yang tepat bagiku?’….
“Woi…  manuang jo karajo lae afdal, buk dosen lah mancaliak caliak sajak tadi tu ha, beko kanai malapetaka wak ndak tau do lah..haha”. (woi, jangan melamun aja afdal, bu dosen telah memperhatikan kamu, kalau terjadi malapetaka saya tidak tahu menahu.. haha)
setengah berbisik pemuda 20 tahun asli pariaman yang biasa di panggil Arfan itu mengucapkan beberapa patah kata padaku. Aku siuman dari lamunanku. ”handeh, lah tabang wak tadi a, yo bana tu?”,,,(aduh, beneran?)
“Ehem…. Mas  yang berkemeja putih yang di tengah, coba anda jelaskan kembali konsep asam- basa yang barusan saya jelaskan”….Hening… darah ku tersirap dibuatnya, jantung ku berdegup cepat tak karuan, benar saja, aku langsung dapat permintaan ‘istimewa’ dari perempuan paruh baya yang berdiri di depan kelas.
Tanpa tahu apa yang harus ku perbuat, aku menguatkan hati melangkahkan kaki dari tempat duduk kayu yang dipernis itu menuju papan tulis. Kapur-Kapur yang berserakan di sela sela papan hitam persegi panjang itu seakan menertawakan wajah ku. Wajah panik, wajah bodoh, wajah ketakutan, wajah menahan hajat (lho?), semuanya mengalami fusi. Tanganku bergetar, ku raih kapur itu. Kemudian ku pilih warna apa yang aku sukai. Kenapa juga aku harus melakukan hal itu pada situasi dimana aku tidak bisa menghadapkan wajahku kecermin.
“dreeettt..”dengan pelan goresan pertama ku mulai dalam ikhwal menulis salah satu rumus kimia suatu larutan. Dingin, aku bisa merasakan keringat dingin mulai mengucur dari pelipis kanan. Goresan demi goresan aku buat perlahan sambil memikirkan kata kata apa yang akan aku pilih perihal menjelaskan nantinya.
“cukup…..jam ibu sudah habis, ibu harap kalian semua mengerti, dan sampai jumpa jam pelajaran selanjutnya”. Semuanya membalas, “oke buk”… situasi berubah.
keheningan hanya ada padaku, tok ...kapur di tanganku dengan spontan jatuh ke sela sela papan, dan setelah semuanya… Akulah orang yang paling bahagia di kelas kimia tersebut. Aku menghela nafas panjang, dan bahu yang tadi kaku mulai turun kembali ke bentuk normalnya. Namun setelah itu aku menundukkan kepala dan melayangkan pertanyaan kepada diri sendiri, “Kenapa bisa seperti ini?”
Ada banyak pertanyaan yang secara bertubi tubi merajam kepala ku dan aku dibuat kusut olehnya. Tanpa ada jawaban yang pasti, hal itu lah yang menimbulkan berbagai kecemasan. Ah, kebahagiaan yang tidak seperti dulu lagi. Kebahagiaan seakan malas untuk hinggap di jiwaku. Aku mengingat kembali masa-masa itu. Ya, aku bisa menyebutnya sebagai puncak karier ku sebagai seorang pelajar. Apa yang dirasa dahulu sekarang sudah tiada. Hampa, Ya, semuanya kosong. Sekarang orang-orang bisa menyebutku sebagai seseorang yang terdampar di kota kembang ini. Tersesat dan hidup dalam kesendirian. Kemanakah tempat bertanya?, tempat berberita?, disaat orang tua berharap lebih kepadaku?...
Sebagai satu-satunya alumni SMA yang berkuliah disini, aku merasa buta akan petunjuk. Aku iri melihat teman-teman sejawatku dengan mudahnya akrab berbicara berbagai hal dengan kakak tingkatnya semasa SMA dulu. Mereka berdiskusi dunia perkuliahan, dunia non akademik, cara hidup sebagai mahasiswa, dunia pekerjaan dan hal-hal yang bisa disebut sebagai petuah yang bisa dijadikan sebagai pegangan oleh ‘anak baru’ seperiku. Haaaah, rasanya ingin sekali mendengar apa yang mereka dengar dan bertanya sekehendak hati, sekehendak perut kalau bisa. Tapi, kepada siapa kalimat -kalimat bertanda seru (?)  ini aku sampaikan?....
( bertanda tanya woiii, arrrghh)

(ah, ane nggak peduli....)

Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Jika pertanyaan baru muncul maka pertanyaan lama menghilang tanpa tahu apa jawabannya. Ku coba kembali mengumpulkan berbagai macam hal yang tidak aku tahu jawabnya itu, dan ku simpan rapat rapat dalam hati. Berharap suatu saat nanti aku menemukan jawabnya. Ya, entah kapan, tapi akan aku cari. Aku terus menundukkan kepala menuruni tangga gedung perkuliahan. Bahkan setelah sampai di jalan datar pun aku masih tertunduk diam. Aku mencoba menyembunyikan kefrustasian ku kepada semua orang. Bahkan sampai bulan ke-6 aku disini, aku masih belum menemukan suatu resolusi.
Ya, pengubah bara jadi api, gejolak menjadi semangat, keinginan menjadi tekad dan makanan jadi hajat (itu nggak ada hubungannya bung!!!). Ah pokoknya semacam itu lah,(anda yang jelas dong kalau menulis), emang masalah ente apaan? tulisan ane yang buat kok....(lho.. kok nyolot, saya kan cuma ngasih saran!), saran saran, ente malah ngajak ribut dari tadi, berantem aja yuk di SARAGA,! (ayooookkkkk,emangnya saya berani apa...), ah, banyak alesan ente,,,hyaaaaaaaaaaaa*menonjok...

(@$#^%$^%&*^%##bg!#23???/) 

*setengah jam kemudian
 (oh, maksudnya motivasi…). Ya, itu, sebuah motivasi. (oh, bilang dong dari tadi…). Bahkan sekarang aku seperti orang gila yang mengajak duel dirinya sendiri. Benar-benar kacau.         
   Hingga pernah terlintas dalam benakku yang dipenuhi oleh jaring laba-laba ini bahwa…… Aku hanya merasakan ‘’hidup’’ sampai umur 17,5 tahun. Setelah itu hanyalah kebohongan dan kesia-siaan belaka.
Terdengar seperti kalimat keputusasaan, namun realita tak mungkin bisa dikelabuhi. Kemudian kincir-kincir yang ada dalam otakku, ku coba untuk menggerakannya sejenak. Terasa berat, seperti tak mau berputar, namun perlahan-lahan berotasi melalui sumbunya. Dan pada akhirnya muncul lah suatu kalimat yang aku merasa itu seperti mukjizat yang dibawa malaikat. Yang jelas bukan perintah “bacalah dengan menyebut nama tuhan mu”(Qs.96:1) yang sekarang tersangkut di kepala ku, jelas saja, kalian kira jibril sudi mendatangi cecunguk hina seperti ku….?. Tetapi suatu kalimat yang berbunyi “ aku harus melanjutkan hidup ku”. Terdengar ringan, namun karena sebelumnya aku merasa hanya hidup sampai umur 17,5 tahun, aku patri makna kalimat itu sesuai defenisi ku sendiri. Ya, aku harus mencari kebahagiaan lain di sini, di kota kembang, dimana ada propaganda “Bandung Bermartabat” di setiap jalan.
Kulihat kembali jam tangan yang entah KW berapa yang selalu setia terikat di pergelangan tangan kiri ku, ternyata pukul 11.50. Ya, panggilan dari masjid Salman sudah mendengung dan itu artinya aku harus mempercepat langkah. Dengan berat, kepala yang selalu tertunduk tadi coba ku angkat. “sudah waktunya…..”
Aku pun berlalu memenuhi panggilan dari Sang Maha Membolak-balikkan Hati Manusia………………………….

Note: “ aing juga bingung…….ah, sudahlah…”

Chapter Singkat Unpublished Book: Sebelum 10 Anak Tangga

Menelusuri jalan kecil yang diapit tembok tinggi menjulang ini, aku teringat akan perkataan seseorang... " Setiap orang harus menjadi profesional dibidang nya masing-masing, maka dalami lah ilmu yang anda tekuni, dan luaskan wawasan anda "...

Benar, aku jadi mengerti apa yang ia maksud sekarang. Tak peduli apapun dunia yang digeluti, yang harus dilakukan hanyalah menjadi profesional dibidang itu.Pertanyaannya sekarang, bagaimana bila kita merasa tidak cocok dengan dunia tersebut ?. Sederhananya, kita menjalaninya, namun tidak menikmatinya. Setelah beberapa waktu berlalu, kita baru menyadari bahwa energi kita terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak kita inginkan, bagai tercekik oleh rutinitas-rutinitas yang dihasilkan oleh hal tersebut. Frustasi kah?......
Namun jika kita berpikir jernih dan sedikit melihat kebelakang, apa yang kita jalani sekarang adalah apa yang kita pilih dulu. Terus maju dan berusaha mencari "sesuatu" dibalik itu semua adalah pilihan yang bijaksana. Tetapi jika merasa masih belum terlambat, kita bisa memulainya dari awal lagi, dan membuat pilihan baru dimana kita berjanji untuk tidak akan pernah menyesalinya. 


Hanya dengan memikirkan itu semua, tanpa sadar aku telah melewati 10 tangga yang menanjak, dan telah sampai didepan pintu ku. "Assalmualaikum....Tadaima... aku pulang.....
Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku mengatakan "tadaima"(aku pulang) , suatu kalimat dalam bahasa jepang... Padahal aku sungguh sangat mengerti bahwa pasti tidak akan pernah ku dengar kalimat "okaeri nasai"(selamat datang) dari balik pintu. Memangnya barang-barang yang berserakan seperti habis dilanda angin sepoi-sepoi (nggak nyambung..) bisa membalas kalimat tersebut..?. Ah, tanpa mempedulikan alasan kenapa?, aku hanya merasa ada suatu kepuasan ikhwal mengucapkan kalimat tersebut. Yaaaaa, barangkali suatu saat nanti aku mendengar balasan dari kalimat yang aku ucapkan tersebut. Ya, aku hanya berfirasat demikian. Tetapi yang jelas, aku masih mengucapkan "assalamualaikum" sebelum semuanya, yang artinya aku harus tetap memelihara bahkan harus meningkatkan keimananku. Sambil rebahan pada tikar ketiduranku yang mulai lusuh, dan dikelilingi oleh barang-barang yang letaknya masih persis seperti saat ku tinggalkan 4 jam yang lalu, aku mencoba mengingat kembali misi hidupku. Mengingat kembali apa tujuan ku. Bagaimana selama ini aku menjalankan hidupku dan menghabiskan waktu ku. Ya, aku akan dicap sebagai pembohong besar oleh 2 "makhluk" lainnya yang ada didalam tubuhku jika aku mengatakan " hai semua, aku telah memanfaatkan waktu ku sebaik baik nya, maka dari itu jangan buang waktu mu...." 

Pada kenyataan nya adalah aku hanyalah orang terpayah yang tidak bisa menjaga waktu, i'm not a good time keeper.. Seringkali aku membuat suatu rencana yang menurutku itu "sempurna", tetapi aku juga lah sebagai terdakwa yang paling bertanggung jawab atas kegagalan dalam mengaplikasikan rencana tersebut. Kalian bisa menyebutku seorang yang memiliki kualifikasi yang cukup baik dalam planing, tapi paling buruk dalam hal doing. Apalah artinya jika rencana yang hanya aku seorang yang harus menjalankannya, tidak bisa aku jaga, tidak bisa aku terapkan. Aku berpandangan orang yang tidak bisa istiqomah/konsisten adalah orang yang tidak berguna, dan aku lah salah satu nya. Aku bangkit dari rebahan yang menghabiskan waktu itu, dan mencoba untuk duduk sejenak. Pikiran ku melayang jauh, seakan distimulasi oleh hal-hal yang aku pikirkan tadi. Ingatan demi ingatan aku pilah-pilah, hingga sampai kepada 10 anak tangga yang aku lewati tanpa sadar tadi. Sebenarnya hanyalah sebuah anak tangga biasa yang dibangun dari semen yang dikombinasikan dengan pasir sungai hingga orang-orang biasanya menyebut material itu dengan nama beton. Lalu apa istimewanya?.. kita bisa menemukan ini dimana-mana kan?, namun ikhwal yang aku maksud disini bukanlah seperti yang kalian pikirkan. 

15 menit yang lalu sesaat sebelum melewatinya, aku masih berkutat dan berkonsentrasi penuh dengan pikiranku. Memikirkan pernyataan seseorang yang aku lupa namanya itu, sambil memikirkan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan hidup yang selalu memburuku. Aku berusaha keras memikirkan dan mencari jawabnya, hingga tanpa aku sadari aku telah melewati 10 tangga menanjak itu. Aku mengerti sekarang, bahwa hidup ini tidak akan pernah berhenti dari yang namanya menghadapi rintangan, tantangan dan cobaan. Yang perlu kita lakukan hanyalah bekerja keras untuk melewati itu semua, berjanji untuk tidak akan pernah menyerah dan terus mencoba sambil memantapkan hati dengan pilihan yang kita buat. Hingga tanpa kita sadari, kita telah berhasil melewati periode sulit dalam hidup. Tanjakan demi tanjakan akan kita lewati, gunung yang tinggi ataupun lembah yang dalam, semuanya akan kita hadapi dengan kerja keras, semangat tak terbatas, tekad terkuat dan janji akan keistiqomahan, kemudian pada akhirnya kita bisa berkata pada diri sendiri  " hei... hal ini ternyata begitu mudah"........    
Terakhir, aku ingat kembali kata-kata yang pernah terucap dari mulutku beberapa tahun lalu.. "Jika engkau tidak memiliki bakat, maka engkau harus bekerja keras..."


by: hanyalah orang yang masih mencari jawaban-jawaban akan pertanyaan hidup yang ia buat sendiri.